oleh

Cerpen Aan Kunchay

PEMBERONTAKAN BAPAK

Aku tengah memijit betis emak sewaktu bapak masuk ke kamar dengan tergopoh. Ia mengeluarkan kantong plastik berisi kepingan tablet yang sepertinya baru dibeli dari apotek.

“Kamu tidak sekolah? Emakmu sudah makan?” Bapak memberondongkan pertanyaan yang sebenarnya ia sendiri sudah tahu jawabannya.

Aku menatapnya dengan kepala menggeleng pelan. Saat bersitatap aku melihat jelas kesedihan terpancar dari kedua bola matanya.

“Ambilkan nasi buat emakmu. Biar nanti bapak yang suapin.”

Aku bergegas melangkah menuju dapur. Sembari menyiapkan santapan buat emak, aku mendengar suara bapak seperti tengah berbincang dengan seseorang di kamar.

“Tolonglah, Koh! Istri saya tengah sakit keras. Tambahkan saja ke hutang-hutang saya yang lalu. Nanti potong saja gaji saya tiap bulannya.”

Bapak pasti kembali meyakinkan Bos di tempatnya bekerja untuk meminjam uang. Dari tiap kali medengarnya menelpon, aku jadi tahu kalau bapak terlilit hutang di tempatnya bekerja.

“Tolonglah, Koh! Tol… ah…!” Suara bapak yang semula bernada memelas berakhir dengan seruan kekesalan.

Suasana berangsur hening. Setelah yakin percakapan via telpon bapak sudah berakhir, aku segera menuju kamar membawa piring berisi nasi dan sedikit lauk sisa semalam yang sudah kupanaskan.

Hari bergulir menuju siang ketika bapak berpamitan untuk kembali melanjutkan kerja.

“Nanti kau coba bujuk emak supaya makan, ya!” ujar bapak dari atas sepeda motor yang ia pinjam dari teman kerjanya. Bapak tidak punya kendaraan. Pernah ada, tetapi sudah dijual ketika seminggu emak mulai sakit-sakitan.

Aku kembali menjaga emak yang masih terbaring lemah di kamar. Di atas meja kecil yang tak jauh dari posisi dipan, kepingan tablet masih utuh. Namun, nasi yang tadi kubawakan sudah ludes dan hanya menyisakan piring beserta sendoknya saja. Pasti bapak yang menghabisinya. Sebab, tak ada tanda-tanda bahwa emak usai bersantap. Hm… emak masih belum mau makan.

Sudah hampir dua bulan emak terbaring di tempat tidur. Tubuhnya jadi kurus. Terkadang ia muntah dengan disertai darah. Kata orang emak menderita penyakit yang parah. Tetapi aku tidak pernah diberitahu perihal penyakitnya.

Beberapa orang tetangga menyarankan supaya emak segera dibawa ke rumah sakit. Namun, bapak mengatakan nanti saja kalau sudah gajian. Sebenarnya bapak berbohong. Aku tahu, seminggu yang lalu dia sudah gajian, tetapi emak belum juga dibawa ke rumah sakit. Bapak bekerja di sebuah perusahaan distributor, tetapi entah kenapa penghasilannya tak pernah cukup.

Aku jadi sering membolos sekolah karena harus menjaga emak. Padahal seharusnya, sebagai siswa kelas 6 SD yang telah mendekati ujian akhir, aku harus lebih giat lagi belajar. Namun, aku tak sanggup jika meninggalkan emak sendirian.

Selepas Isya, Pak RT bertandang ke rumah. Ia berbincang dengan bapak di ruang tamu. Karena jarak kamar dan ruang tamu hanya berbatas dinding, aku bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.

“Begitulah, Pak RT. Sejak istri saya sakit-sakitan dan tidak bisa lagi bekerja sebagai buruh cuci, ekonomi rumah tangga saya jadi kedodoran,”

“Pak Rudi kan bekerja di sebuah CV, sudah lama lagi. Seharusnya penghasilanmu bisa dibilang cukup, karena gaji sudah standar UMR. Dua jutaan, kan?”

“Itulah, Pak. Gaji saya sebagai seorang helper di sana hanya delapan ratus ribu perbulan.”

“Hah…?”

Suasana sejenak hening, sampai Pak RT melanjutkan kata-katanya.

“Bagaimana bisa, sebuah CV menggaji karyawannya tidak sesuai standard UMR? Lagipula Bosmu si Koh Acung adalah orang yang konon terkaya di kota ini. Itu sebuah pelanggaran Pak Rudi. Para karyawan tidak menggugat?”

“Karyawan di sana mayoritas hanya orang kecil yang butuh pekerjaan, Pak. Manalah terpikir dan berani melakukan hal-hal seperti itu. Apalagi saat ini, di negeri yang tengah mengalami krisis ini, orang-orang yang seharusnya berwenang memerhatikan dan mengawasi hal semacam ini lebih suka menjadi penjilat demi kantong pribadi. Semua telah terbungkam oleh suap.” Suara bapak terdengar penuh kegeraman.

“Pak Rt, bisa bantu kami seandainya ingin menggugat? Pak RT kan orang pintar, jadi banyak tahu hukum-hukumnya…,” lanjut bapak lagi.

“Saya? Ehm… anu… kenapa Pak Rudi tidak berhenti saja, cari pekerjaan lain?”

Terdengar bapak menarik napas panjang dan berat. “Dengan gaji segitu dan kebutuhan yang banyak, saya jadi sering berhutang ke Koh Acung. Sekarang bagaimana saya bisa mencari pekerjaan lain, sementara untuk berhenti saya harus melunasi hutang terlebih dahulu?”

“Pak RT, bisa bantu?”

“Pak Rudi, saya tidak berani dengan hal semacam itu. Biasanya bekingnya orang berpangkat. Apalah daya kita yang awam dan tidak punya kekuasaan ini?!”

Terdengar bapak mendengus. “Tak ada bedanya dengan penindasan!”

Kekhusyuanku menguping seketika terhenti saat emak tiba-tiba bangun dan muntah-muntah. Darah kental berceceran di lantai.

Bapak menyerbu masuk ke kamar dan langsung memegang bahu emak. Ia berusaha menenangkan dengan menuntun emak mengucap istighfar.

Tak lama kemudian Pak RT datang lagi bersama beberapa orang tetangga.

***

Air infus menetes pelan mengalir ke pergelangan tangan emak. Kini wajahnya tidak sepucat dahulu. Yah, sudah lima hari ini—sejak Pak RT dan para warga ramai di rumah–emak dirawat inap di rumah sakit.

“Emak sudah makan?” Suara bapak mengagetkanku.

Aku menganggukkan kepala dibarengi senyum yang turut hadir dengan bersama kehadirannya. Bapak membalas senyumku sekilas. Selanjutnya ia sibuk mengeluarkan isi bungkusan yang dibawanya. Ada roti, susu, sehelai handuk, dan beberapa potongan baju. Juga ada nasi bungkus dengan kantong terpisah.

Sepertinya bapak bekerja keras hari ini. Keringat di tubuhnya telah membasahi hampir sebagian pakaiannya. Juga wajahnya terlihat tegang dan pucat.

“Besok emakmu dioperasi. Jangan tinggalkan pergi main ke sekitar rumah sakit ini. Kamu harus jagain ya!”

“Iya, Pak.”

“Makanlah dahulu, itu ada nasi ayam buatmu!” Bapak menggiring pandanganku ke nasi bungkus yang dibawanya tadi, “Bapak musti berangkat kerja lagi.”

“Pak….”

“Iya?”

“Bapak sakit?”

“Tidak, bapak baik-baik saja!”

“Gaji Bapak, naik ya, Pak?”

Bapak tersenyum kecut dan terdiam sejenak.

“Iya, kamu benar.” Ia mengusap-usap kepalaku, “Kalau emak sudah sehat, kau harus lebih rajin sekolah. Supaya pintar. Kalau pintar kita tidak akan dibodoh-bodohi dan ditindas.” Bapak menatapku sendu.

“Iya, Bapak.” Aku meng-iyakan meski kurang mengerti.

Bapak melangkah keluar dari ruangan rumah sakit. Sepintas aku melihat seperti ada darah di sikunya. Belum sempat kutanya, ia sudah menghilang di balik pintu.

Itulah terakhir kalinya aku melihat bapak. Esoknya saat emak akan dioperasi, beberapa tetangga kami datang membesuk. Namun, bapak tak juga menunjukkan batang hidungnya. Salah satu dari tetangga menenangkanku dengan mengatakan bahwa bapak masih sibuk dengan pekerjaannya. Selain itu bapak juga telah membayar semua biaya rumah sakit dan biaya operasi emak.

Kugenggam tangan emak dengan erat sebelum ia masuk ke ruang operasi. Meski matanya terpejam, tetapi jemarinya juga dapat mencengkram jemariku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, hanya saja air mataku mulai menetes hingga menjadi sebuah tangis. Tangisan yang kian menjadi saat setelah beberapa jam kemudian Dokter menyatakan maaf dan mengatakan bahwa operasi tersebut telah gagal. Emak meninggal.

Sejak itu aku tinggal di sebuah panti asuhan. Di sana aku melabuhkan segala kenestapaan hidup. Di sana pula aku mulai merangkai perjuangan untuk memenuhi pesan terakhir dari bapak–sekolah yang giat agar tidak ditindas.

Dan bapak? Bapak tak pernah pulang lagi. Hingga suatu hari terdengar desas-desus yang mengatakan bahwa bapak ternyata berada di penjara. Ia ditahan lantaran melakukan perampokan dengan kekerasan terhadap Koh Acung. Itu terjadi saat sehari sebelum emak dioperasi.

Berita tentang bapak akhirnya sampai juga ke panti asuhan yang kini menampungku. Teman-temanku jadi sering mengolok-olok dengan mengataiku sebagai anak rampok. Aku hanya tersenyum. Namun, di hatiku berkata, “Aku bukan anak rampok. Aku anak seorang pemberontak.”

Lahat, 18-11-2016

BIODATA PENULIS

Aan Kunchay, tinggal di Kota Lahat, Sumatera-Selatan. Saat ini tengah dimandat sebagai pengurus di organisasi Forum Lingkar Pena Cabang Lahat.

Fb: Aan Kunchay

Email: aanjasudra88

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *