Oleh : Andrie Zuliansyah
Penulis adalah Founder Rumah Belajar Depati
Pilkada langsung dewasa ini bagaikan 2 sisi koin yang tidak dapat dipisahkan dengan dinasti politik. Membahas tema pilkada langsung terpikirkan di kepala kita adalah dinasti politik. Menurut hasil wawancara Dini Suryani, bahwa data terakhir pada tahun 2016 menunjukan dinasti politik terjadi di 65 daerah (dw.com, 21/09/2019). Ini meningkat jika kita bandingkan pada tahun 2015 dimana dinasti politik terjadi di 61 daerah.
Dinasti politik secara hukum bukanlah sesuatu yang ilegal di Indonesia, meskipun aturan mengenai larangan dinasti politik di negara kita pernah dibuat (pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015). Sebelum dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun yang sama. MK beralasan bahwa larangan yang dimaksudkan pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 mengamputasi hak politik warga negara yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan (ayah, ibu, istri, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan) dengan petahana.
Pesta demokrasi daerah yang merogoh kocek fantastis untuk terjun ke dalam pertarungan politik daerah mendorong kandidasi calon yang berlaga di Pilkada langsung hanya akan berkutat kepada golongan yang sudah establihed secara finansial dan jaringan. Dimana hal tersebut cenderung dimiliki oleh petahana. Sisi suplai sudah terkunci oleh dinasti politik.
Dari sisi demand (permintaan), perilaku pragmatis dan kondisi ekonomi masyarakat yang lemah di daerah makin menyuburkan dinasti politik dan politik dinasti dalam pilkada langsung. Dengan kemampuan finansial dan jaringan yang dimiliki petahana sangat mudah untuk melakukan money politic sampai ke akar rumput. Money politic bukan hal yang tabu lagi bagi masyarakat.
Istilah-istilah yang berbau money politic tercipta untuk memancing prilaku tersebut. NPWP (Nomor Piro Wani Piro) dan Golput (Golongan Penerima Uang Tunai) menjadi istilah-istilah yang ramai dalam percakapan mendekati pilkada.
Dengan realitas di atas, dimana dari sisi hukum, supply, dan demand memberikan kesempatan untuk berkembangnya dinasti politik dan politik dinasti. Dinasti politik memiliki peluang yang sangat besar untuk melanggar nilai-nilai substantif dalam demokrasi. Hal ini dikarenakan dinasti politik mengakibatkan kekuasaan hanya akan dikuasai oleh satu trah. Padahal dalam demokrasi kita mengenal ungkapan, “democracy is a goverment of people, by the people, and for the people”.
Dinasti politik dan politik dinasti di daerah sangat rentan untuk menghadirkan kekuasaan absolut hanya kepada satu trah keluarga. Kekuasaan absolut dalam rumusnya akan cenderung menghadirkan korupsi dalam kekuasaanya. Lord Acton mengungkapkan, “Corruption tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.
Kita bisa mengambil pelajaran relevansi dinasti politik dengan korupsi di provinsi Banten. Ratu Atut Chosiyah yang merupakan mantan gubernur Banten adalah Ratu sesungguhnya dalam kekuasaan dinasti politik Banten. Banyak jabatan eksekutif dan legislatif di Provinsi Banten yang memiliki m pertautan darah dan kerabat dengan “Sang Ratu”. Ini mengakibatkan lemahnya sistem checks and balances yang menjadi ruh pengawasan dalam prinsip demokrasi.
Melemahnya sistem memiliki dampak untuk mengubah potensi korupsi menjadi aktual. Lihat saja “Sang Ratu” dan adik tirinya Tubagus Chaeri Wardanan (Wawan) menjadi narapidana kasus korupsi.
Memandang dinasti politik dan politik dinasti memiliki potensi untuk melanggar nilai-nilai demokrasi, seperti tidak adanya check and balances, monopoli kekuasaan pada satu keluarga, dan korupsi. Maka kita perlu melakukan pencegahan agar dinasti politik dan politik dinasti tidak tumbuh dengan subur di daerah.
Dari segi regulasi dengan dibatalkannya pasal (pasal 7 huruf r UU no 8 tahun 2015) yang mengatur pembatasan dinasti politik dan politik dinasti, maka solusi secara aturan akan sulit kita tempuh untuk itu. Padahal, solusi dari segi regulasi lebih efektif untuk membatasi praktik dinasti politik dan politik dinasti.Maka, solusi yang bisa kita tempuh butuh waktu yang relatif lama.
Pertama, teladan dari elit politik (petahana) untuk tidak melakukan dinasti politik dan politik dinasti disaat mereka berkuasa. Elit politik berkuasa sangat sulit untuk mengerem ambisi politik, terlebih memiliki kesempatan untuk memperluas dan memperpanjang durasi kekuasaan politik pada lingkaran keluarga.
Partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam kontestasi politik pun dikuasai oleh petahana. Lihat saja provinsi Banten dimana pemimpin partai politik terbesar, yaitu Golkar dipimpin oleh “Sang Ratu” dan trah keluarganya. Hal tersebut, mengakibatkan partai politik yang seharusnya mampu menjadi media untuk mencegah terjadi dinasti politik dan politik dinasti menjadi disfungsi. Padahal, partai politik adalah kanal utama rekrutmen politik. Maka, berharap kepada elit politik memberi teladan bagaikan pungguk merindukan rembulan, jika kita melihat realitas yang terjadi dibanyak daerah.
Kedua, masyarakat harus mulai memahami buruknya dampak yang dihasilkan dari dinasti politik dan politik dinasti. Dewasa ini, masyarakat di daerah masih memiliki anggapan yang kuat bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang bisa diwariskan dengan hubungan pertalian darah. Padahal, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang ujug-ujug.
Menurut Dr. Sugianto bahwa pada awal kemerdekaan tradisi kekuasaan yang hidup dalam masyarakat sebagian masih dipengaruhi oleh kultur kerajaan yang feodal dan sampai saat ini kultur tersebut masih terasa dalam kehidupan sehari-hari. Kuatnya kultur kerajaan yang identik dengan budaya dinasti dan feodalistik mengakibatkan praktik dinasti politik dan politik dinasti menemukan sentuhannya. Ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan nilai-nilai demokrasi dalam
pilkada sekedar stempel legitimasi dinasti politik.
Untuk memberikan pemahaman dan mengubah budaya yang sudah berakar dalam masyarakat tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Tapi inilah jalan panjang yang sangat realistis untuk mengubah budaya feodal setelah tidak mungkinnya jalur hukum (dibatalkannya pasal 7 huruf r UU no 8 tahun 2015 oleh MK) dan berubahnya budaya elit di tengah godaan kekuasaan yang melenakan.
Peran memberikan pemahaman kepada masyarakat harus diambil perannya oleh kelompok civil society, seperti LSM, mahasiswa, dan akademisi. Mereka harus tanpa henti memberikan pemahaman dengan masyarakat, terutama akar rumput bahwa dinasti politik dan politik dinasti merugikan khalayak banyak jika terus berlanjut. Membahasakan dampak negatif dinasti politik dan politik dinasti kepada masyarakat akar rumput, ibaratkan tetesan air yang terus menetes di atas permukaan batu yang lama kelamaan akan menimbulkan cekungan.
Pilkada serentak 2020 nanti tentu tidak langsung akan bersih dari praktik dinasti politik dan politik dinasti. Terlebih bisa jadi semua kandidat yang akan bertarung nanti di pilkada adalah hasil dari dinasti politik. Lalu bagamaina kita menyikapinya? Demokrasi tidak selalu memberikan pilihan sama-sama berkualitas atau berkualitas dengan tidak berkualitas. Demokrasi bisa menghadirkan pilihan-pilihan yang buruk. Namun, demokrasi memiliki mekanisme koreksi yang terbuka lebar terhadap penguasa yang buruk, sehingga kita mampu mengurangi dampak buruk tersebut. Mari berdemokrasi, bukan berdinasti.
Komentar