Oleh : Mulyono Misman – Founder MRC (Mulyono Research and Consulting)
Tanggal 30 September selalu mengingatkan saya pada sebuah perbincangan ringan bersama Gus Dur (saat itu sudah Mantan Presiden) dan beberapa kawan di kediaman (alm) KH. Agus Miftah di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan pada suatu sore menjelang magrib pertengahan tahun 2007 silam.
Bincang ringan yang terjadi 13 tahun silam itu saya anggap masih relevan untuk disampaikan sekarang ini, mengingat masih banyak orang yang bias dengan hakekat komunisme, atheisme dan sejarah perjalanannya di Indonesia.
Saat ini masih banyak yang belum bisa memisahkan antara komunisme dengan atheisme, dinamika sejarah politik seakan menggiring stigma bahwa komunisme selalu identik dengan Atheisme.
Tapi benarkah demikian ?
Jika dirunut dari semua referensi yang ada, sebenarnya tidak ada kaitan sama sekali antara komunisme dengan atheisme.
Komunisme adalah suatu gerakan politik murni yang mengusung paham tentang gerakan sosial tanpa kelas yang menentang keras hegemoni kapitalisme/liberalisme dan mengedepankan kekuasaan sebagai alat mencapai tujuan.
Sementara Atheisme merupakan paham keagamaan/teology yang menafikan eksistensi/keberadaan tuhan dalam kehidupan.
Dan jika menyimak sejarah komunisme, terutama di Indonesia, perbedaan antar keduanya makin nampak jelas.
PKI lahir pada tahun 1920 dan dipimpin oleh ketua umumnya yang pertama bernama Semaoen.
Semaoen sendiri sebenarnya merupakan tokoh SYAREKAT ISLAM yang bersama H. Agus Salim menyepakati bahwa kapitalisme merupakan paham yang harus di perangi di Indonesia (saat itu masih Hindia Belanda).
Inilah yang melandasi Semaoen mendirikan PKI dan sekaligus menjadi ketuanya pada saat itu.
Namun mengingat Semaoen sendiri merupakan tokoh SYAREKAT ISLAM (SI), muncul protes dari H. Abdul Moeis, tokoh SI Jogja yang mempermasalahkan rangkap jabatan Semaoen di PKI dan SI.
Pada kongres SI berikutnya, muncul kesepakatan larangan adanya rangkap jabatan di tubuh SI, dimana anggota SI yang menjadi pengurus PKI dilarang.
Tidak terima dengan itu, Semaoen lalu mendirikan SI merah, yang menandai pertentangan pertama antara kelompok PKI (SI merah) dengan kelompok SI murni.
Pertentangan ini melebar menyebabkan puluhan ribu (35 ribuan ?) anggota SI murni keluar dan bergabung dengan PKI.
Peristiwa inilah yang menjadi penanda awal adanya demarkasi antara PKI (kaum komunis) dengan SI murni yang lalu ditasbihkan dengan kelompok religius murni.
Kelompok PKI (SI merah) inilah yang pada tahun 1926 melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda yang lalu gagal.
Pemberontakan dipicu oleh paham bahwa sistem tanpa kelas hanya bisa terlaksana jika jejaring kekuasaan ada di tangan.
Pemberontakannya melawan Belanda gagal pada 1920, PKI kembali melakukan pemberontakan pada 1946-1948 yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Madiun 1948.
Berbeda dengan pemberontakan pada tahun 1926 yang melawan belanda, pemberontakan PKI pada tahun 1948 di Madiun kali ini dilakukan terhadap bangsanya sendiri.
Pemberontakan dipicu oleh kekecewaan atas jatuhnya pemerintahan PM Amir Syarifudin yang di gantikan oleh PM M. Hatta.
Gejolak pemberontakan merambah pada level grassroot, dimana kaum komunis lalu menjadikan ormas dan lembaga-lembaga Islam serta para Kyai nya sebagai sasaran pembantaian.
Hal ini tidak lepas dari asumsi adanya dominasi kaum religionis dalam ornamen kekuasaan yang saat itu dipimpin oleh Bung Karno.
Kebiadaban kaum PKI terhadap kelompok-kelompok religius di masyarakat ini ditenggarai tidak lepas dari pertentangan “organisasi” pada masa-masa awal berdirinya PKI sebelumnya.
Situasi inilah yang lalu ditenggarai menjadi awal yang memunculkan stigma bias makna antara PKI/komunisme dengan Atheisme di Indonesia khususnya akibat perlakuan biadab mereka terhadap kelompok religionis.
Gagal pada 1948, PKI kembali mencoba melakukan kudeta pada tahun 1965, yang lalu menjadi akhir era komunisme secara legal di bumi Indonesia hingga saat ini.
Berbeda dengan 1948, pada pemberontakan 1965 PKI menjadikan issue dewan jendral sebagai alasan utama pemberontakan.
Dan karena alasan utamanya berbeda, maka sasaran utama PKI pada pemberontakan 1965 lebih mengarah kepada kelompok tentara yang dianggap menjadi simbol penentangan ideologi mereka yang ditandai dengan pembantaian terhadap para pahlawan revolusi yang notebene kesemuanya adalah tentara, meski kelompok religionis tetap menjadi korban amuk mereka.
Pemberontakan PKI pada tahun 1965 digagalkan oleh kalangan tentara dibawah pimpinan Jendral Soeharto yang kemudian menamakan diri mereka kelompok orde baru.
Kemenangan kelompok orde baru atas upaya kudeta PKI harus dibayar mahal dengan terjadinya amuk balas dendam terhadap massa PKI di semua level yang dilakukan tentara bersama sama rakyat, yang notabene didominasi kelompok religius.
Pada masa inilah PKI benar-benar di habisi keberadaannya secara de jure seiring lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Dan sekarang, saat orde baru sudah berakhir, yang ditandai dengan lahirnya orde reformasi, dimana demokrasi menjadi issue sakral yang tak boleh dilawan, wacana tentang munculnya PKI kembali menjadi konsumsi politik yang lumayan seksi untuk diperdebatkan.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul nyaris selalu sama dan bukan lagi tentang masih ada atau tidaknya paham komunisme melainkan lebih pada pertanyaan : benarkah PKI (secara de jure) akan lahir kembali ?
Dan yang lebih mengerikan adalah, benarkah mereka akan melakukan dendam atas apa yang mereka alami pasca kegagalan pemberontakan pada tahun 1965 lalu ?
Silahkan masing-masing berasumsi.
Komentar