Oleh : Andrie Zuliansyah* *Penulis adalah Founder Rumah Belajar Depati
Calon perseorangan atau lebih dikenal calon independen merupakan kanalalternatif bagi para politisidaerah untuk melenggang maju dalam kandidasi calon kepala daerah. Pencalonan melalui jalur perseorangan dalam pilkada sejak keputusan MKnomor 5/PUU-V/2007 yang dipimpin oleh Prof Jimly AsshidiqieS.H. diperbolehkan dan memberikan alternatif secara yuridis. Dimana sebelum keputusan tersebut diketuk palu, pencalonan kepala daerah dihegemoni oleh partai politik yang cenderung dilabelisasi dengan praktik oligarki politik.
MK memutuskan pasal 56 ayat 2 UU no 32 tahun 2004 Pemerintahan Daerah bertentangan dengan pasal 28D UUD ayat 3 yang berbunyi, “setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. MK berpendapat praktik pencalonan kepala daerah hanya melalui partai politik ikonstitusional.Dari sinilah praktik calon perseorangan di pilkada mendapatkan media tumbuhnya.
Praktik calon perseorangan dalam pilkada memiliki persyaratan yang relatif berat. Hal ini disebabkan, karena para bakal calon kepala daerah melalui jalur perseorangan harus mengumpulkan KTP dan si empunya KTP harus mengisi formulir administrasi B1-KWK. KTP dan formulir B1-KWK sebesar 6,5% sampai 10% dari jumlah daftar pemilih tetap(DPT),tergantung dari banyak dan sedikitnya DPTdi provinsi/ kabupaten/kota. Selain itu, sebaran wilayah dari dukunganKTP pun menjadi syarat (50% dari jumlah kecamatan untuk tingkat kabupaten/kota dan kabupaten/kota untuk tingkat provinsi).
Terlebih lagi, mekanisme verifikasi faktual mengenai keabsahan dukungan kepada calon jalur perseorangan relatif menyulitkan. Waktu yang sempit untuk melakukan perbaikan syarat administrasi tersebut menjadikan banyak calon melalui jalur perseorangan gagal lolos atau mundur di tengah jalan. Bahkan, berpikir berpuluh-puluh kali untuk maju melalui jalur perseorangan.
Relatif beratnya maju melalui jalur perseorangan membuatkandidasi melalui partai politik menjadi jalur utama secara faktualuntuk pilkada.Meskipun, secara yuridis telah diatur mekanisme pencalonan jalur perseorangan. Ini seperti ilustrasiorang bertamu di rumah yang pintu rumahnya sudah dibuka lebar, tapi ada anjing galak di halamanyang siap mengejar dan mengigitnya sebelum masuk ke dalam rumah. Dia bisa masuk kerumah tersebut jika dia lebih cepat dan tangkas daripada si anjing.
Lantas untuk apa maju melalui mekanisme jalur perseorangan, jika persyaratannya relatif sulit? Terdapat pro dan kontra mengenai hal ini. Pendapat pihak yang pro, bahwa jalur perseorangan sudah selayaknya memiliki syarat yang relatif sulit. Dikarenakan, untuk maju sebagai calon kepala daerah melalui partai politik, pasangan calon kepala daerah harus mendapat dukungan partai politik sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara partai tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota).
Kita sudah mengetahui bersama begitu banyaknya resources partai dan kandidat caleg yang dikeluarkan untuk memenangkan hati rakyat saat pileg. Sangat tidak fair bagi pihak pro,jika pengorbanan yang besar tersebut harus dikalahkan dengan persyaratan pencalonan jalur perseorangan yang relatif ringan.
Sedangkan pihak kontra, mengatakanbahwa dengan relatif sulitnya persyaratan maju sebagai calon kepala daerah melalui jalur perseorangan membuat rakyat kehilangan alternatif pilihan kandidat diluar selera oligarki partai politik dan akan menyuburkan praktik oligarki partai dalam pilkada. Sebab, secara historis hadirnya mekanisme pencalonan jalur perseorangan adalah untuk menghadirkan calon yang berbeda dari kepentingan partai politik (non-partisan candidacy). Dimana, seringkali oligarki partai dalam pencalonan pilkada berbedadengan selera publik.
Perdebatan pro dan kontra mengenai calon perseorangan dengan satu kubu beranggapan sudah tepatdan kubu lainnya merasa keberatan, merupakan dialektika politik yang biasa ada. Mereka memiliki perspektif dan argumentasi yang kuat.
Namun, penulis beranggapan bahwa akar masalahnya adalahgagalnya partai politik untuk memenuhi ekspektasi masyarakat yang tinggi. Gap yang terjadi antara partai politik dan masyarakat ini terjadi karena partai politik seringkalidikuasai segelintir orang yang hidup di istana dan tak memahami dinamika yang terjadi di akar rumput.Dari sini ide calon perseorangan muncul dipermukaan untuk melawan oligarki partai. Bahkan, pada titik ekstrim rakyat bisa memandang semua calon dari partai politik buruk.
Namun tingginya ekspektasi masyarakat terhadap pilkada jangan sampai bertujuan untuk mengamputasi peranpartai politik dalam kandidasi calon kepala daerah. Sebab, partai politik adalah infrastruktur politik di negara demokratis.Menurut Yves Meny and Andrew Knapp bahwa sistem demokrasi tanpa partai-partai politik atau dengan sebuah partai politik adalah tidak mungkin atau sulit untuk dibayangkan.
Semangat menghadirkan calon kepala daerah dari jalur perseorangan sebagai antitesacalon yang berasal dari partai politik bukan untuk menegasikan calon dari partai politik. Tetapi sebagai alternatif. Persyaratan yang relatif sulit bagi calon perseorangan harus dipandang sebagai perimbangan untuk semua usaha keras partai politik dalam mencari simpati rakyat. Bukankah kita tahu itu?
Fakta dilapangan tak dapat kita pungkiri.Bahkan, kita jumpai pencalonan melalui jalur perseorangan tak jarang dimanfaatkan oleh politisi partai politik yangmerasa akan gagal dalam persaingan di internal partaipolitik, berduyun-duyun maju lewat jalur perseorangan. Padahal, spirit hadirnya jalur perseorangan adalah menghadirkan calon kepala daerah yang tidak partisan (non-partisan candidacy). Contohnya saja, kita lihat ada politisi muda, Ryan Ernest yang berasal dari salah satu partai politik,berkeinginan maju pada pilkada serentak 2020 nantimelalui jalur perseorangan.
Apakah bisa kita sebut bahwa politisi partai politik yang maju melalui jalur perseorangan sebagai kandidat non partisan?Sedangkan mereka partisan partai politik?Ini ibaratkan seorang laki-laki beristri yang mengaku bujangan untuk meminang wanita lain. Bukan soal legal atau tidak legal, ini soal substansi spirit mengapa hadirnya jalur perseorangan sebagai alternatif dan etika dalam berpolitik.
Hadirnya pencalonan melalui jalur perseorangandengan lika-likunya,harus kita pahami dengan tepat spirit dan substansinya. Sebagai penyeimbang pencalonan melalui jalur partai politik yang banyak dikuasai oligarki. Jangan sampai jalur perseorangan hanya sebagai kanal ambisi politik para politisi partai politik yang kalah bersaing atau tokoh-tokoh di luar partai politik yanghanya sekedarnya tanpa persiapan yang matang. Pilkada bukan ajang main-main kaum elite. Pilkada menentukan maju atau tidaknya suatu daerah untuk 5 tahun ke depan.
Pencalonan jalur perseorangan harus kembali pada akar mengapa ia tumbuh. Sebagai jalur dimana lahirnya calon kepala daerah yang langsung dari aspirasi masyarakat, bukan oligarki politik.
Komentar